Minyak di Lantai

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Siang itu matahari bersinar begitu terik. Arnold mengusap keningnya yang banjir keringat. Jam tangannya menunjukkan pukul tiga belas, perjalanan ke kantor redaksi masih setengah jam lagi. Kerongkongannya terasa kering dan tubuhnya penat. Meliput demo buruh lumayan menguras tenaga.

Lampu merah di perempatan jalan menyala. Kesempatan itu digunakan Arnold untuk melihat sekeliling. Di seberang lampu merah, ia melihat papan nama sebuah toko swalayan. Terbersit di benaknya untuk mencari sesuatu yang segar di sana. Setelah lampu berganti hijau, Arnold melajukan sepeda motornya dan berbelok ke halaman toko tersebut.

Matanya mencari-cari, dan ia menemukan freezer di samping pintu utama. Inilah yang ia perlukan. Arnold mengambil satu horn es krim berukuran besar. Ketika hendak membayar, baru disadari kalau tempat kasir kosong tanpa penjaga. Belum tuntas keheranannya, terdengar suara sirene mendekat ke toko itu. Beberapa orang polisi menyerbu masuk dan langsung naik ke lantai dua. Tanpa pikir panjang, Arnold meletakkan es krimnya begitu saja di atas meja kasir. Naluri jurnalisnya mengatakan ada berita menarik.

“Ada apa ini?!” ia bertanya pada kerumunan orang yang berkumpul di sudut lantai dua.

“Pak Argo dibunuh!” seorang pemuda yang berseragam pegawai toko menyahut. Arnold kaget bukan kepalang. Segera ia menyeruak maju.

Dilihatnya polisi sedang berada di dalam ruangan gudang toko. Mereka mengamati seseorang yang tergeletak di lantai. Arnold mendekat dengan hati-hati. Namun ketika hampir sampai, seorang polisi menghadangnya.

“Dilarang mendekat!” seru polisi itu.

“Aku wartawan,” Arnold menunjukkan kartu pengenalnya. “Siapa dia?”

“Supervisor toko ini, ditemukan tewas setengah jam yang lalu.”

Arnold memperhatikan tubuh yang terbujur kaku itu. Terlentang dengan kepala setengah bersandar di dinding, tangannya memegangi dada yang berlumuran darah. Ia terus memperhatikan selagi polisi memberi tanda di sekeliling tubuh tersebut.

“Siapa yang pertama menemukannya?”

“Aku…” seorang pegawai wanita menyahut dengan gemetar. “Aku mau mengambil stok barang karena di rak sudah habis. Begitu masuk aku lihat pak Argo sudah…”

Arnold menatap name tag yang terpasang di dada wanita itu. “Mbak Erna, jam berapa Anda menemukannya? Apakah pintunya sudah terbuka?”

“Kira-kira jam setengah satu. Aku kaget dan langsung memberitahu yang lain.”

“Maaf,” seorang polisi menyela. “Keterangan selanjutnya, tunggu saja hasil penyelidikan kami.”

“Aku di TKP, jadi berhak meliput,” sergah Arnold tandas. “Siapa pun pelakunya, bisa ditemukan saat ini juga.”

“Jangan menggurui,” polisi itu nampak kesal. Ia lalu meminta rekannya mengumpulkan semua pegawai dan pengunjung yang ada di lantai dua. Setelah menanyai mereka, beberapa di antaranya diperbolehkan pergi.

Selagi polisi sibuk dengan kegiatannya, Arnold mengitari tubuh sang supervisor toko itu. Pak Argo berperawakan sedang namun sangat subur. Ia tergeletak di antara tumpukan dus dan botol-botol.

Petugas ambulans masuk ke ruangan. Polisi menghampiri dan bersama-sama mereka meneliti pak Argo. Arnold ikut mendekat. “Luka apa?”

“Tusukan di dada,” jawab petugas ambulans. “Dan sobekan di kepala.”

“Pisau,” sambung polisi sambil memasukkan sesuatu ke dalam plastik yang dibawanya. “Pelaku membuang senjatanya di sini.”

“Apa ini,” petugas ambulans menggerutu. Ia meraba lantai di bawah tubuh pak Argo. “:Licin. Seperti minyak.”

“Iya,” polisi ikut meraba dan mengamatinya sejenak. “Rupanya korban dan pelaku berkelahi, sampai menabrak botol-botol minyak dan menumpahkan isinya.”

“Kau membunuhnya…!”

Semua tersentak dan menoleh. Seorang pegawai pria menggenggam bahu Erna dan mengguncangkan tubuh wanita itu. Arnold segera bangkit dan melerai mereka.  “Berhenti! Kenapa bertengkar di sini, dan siapa kau?”

“Aku Toby,” kata pria itu marah. “Erna yang membunuh pak Argo. Lihat saja, pisau itu miliknya. Pisau lipat kembar!”

“Pisau kembar?” Arnold terkejut. “Kenapa kau membunuhnya?”

“Bohong!” teriak Erna histeris. “Jangan memfitnah, Toby!”

“Fitnah?” Toby menyeringai. “Semua tahu kau tidak suka pada pak Argo, karena kinerjamu mendapat penilaian buruk darinya. Gudang ini sepi dan jauh di pojokan. Kau membuntuti pak Argo dan membunuhnya di sini.”

“Bohong…!” Erna menjerit sekuatnya. Ia hendak memukul Toby, namun ditahan oleh seorang pegawai lain yang juga berada di situ.

“Tenang, Erna, tenang. Toby, jangan menuduh orang sembarangan, dong.”

“Hei, anak mami!” Toby mendorong dada pria itu. “Mengurus diri sendiri saja tidak becus, sok jadi pahlawan. Pulang dan tidur sana, Roy!”

“Sudah, sudah!” polisi membentak. “Tadi Anda berkata soal pisau kembar?”

“Ya. Erna punya pisau itu di lokernya. Periksa saja.”

Polisi itu bergegas meninggalkan mereka. Arnold memandangi Erna, Toby dan Roy bergantian.

“Ada apa di antara kalian?” tanyanya menyelidik.

“Toby itu penindas,” jawab Roy dengan suaranya yang lirih, hampir selaras dengan gerak geriknya. “Mentang-mentang senior, dia berlagak seenaknya. Aku tak heran kalau sebenarnya dia yang membunuh pak Argo.”

“Eh, kau bicara apa?” Toby membelalak. “Mau main tuduh juga?”

“Kerjamu juga tidak lebih baik. Malah minggu lalu kau disidang pak Argo gara-gara lalai dan menyebabkan satu pak telur pecah.”

“Kau…” Toby meraih kerah baju Roy. Buru-buru Arnold mencegahnya.

“Sabar!” wartawan itu mendorong keduanya menjauh. “Aku tak berminat mendengar kalian saling menjelekkan. Lebih baik katakan, sewaktu kejadian kalian ada di mana dan sedang apa?”

“Aku di kantin dari jam istirahat, dua belas tepat. Aku balik karena mendengar ribut-ribut di gudang. Lalu kulihat Erna sudah ada di sana.”

“Aku sudah bilang, aku mau ambil barang!” tukas Erna.

“Cukup!” Arnold mengangkat tangan. “Kau, Roy?”

“Aku sedang ada di lantai bawah, membereskan rak pajangan. Waktu itu jam setengah satu lewat lima menit. Aku tahu persis karena baru saja melihat jam dinding. Tiba-tiba kudengar Erna berteriak. Aku langsung lari ke atas.”

“Di rak sebelah mana?”

“Rak makanan ringan, dekat freezer es krim dan loker.”

“Bagianmu kan di sini, kenapa mesti ke bawah?” Roy menyela dengan nada mengejek. “Kau pasti sebal melihat pak Argo datang.”

“Apakah pak Argo sedari pagi di lantai ini?”

“Tidak,” sahut Erna. “Mungkin sekitar jam sebelasan. Aku melihatnya naik, tapi aku tak memperhatikannya lagi. Sampai aku ke gudang dan menemukannya di sana.”

Arnold kembali menoleh ke arah tempat tergeletaknya pak Argo. Petugas ambulans sedang mengangkat pria malang itu untuk dibawa keluar. Orang yang berkerumun sudah bubar, tinggal Erna, Toby dan Roy. Ketiganya menepi untuk memberi jalan. Arnold terus memperhatikan, termasuk jalan yang dilalui petugas dan lantai yang dipijak ketiga pegawai itu.

Tiba-tiba Arnold mengerutkan kening. Ia menajamkan mata, melihat lebih jelas ke lantai yang tengah dipijak salah satu dari ketiga pegawai toko itu. Juga ketika pegawai itu bergeser untuk menepi.

Dengan cepat Arnold berbalik, bergegas mendekati tempat pak Argo terbaring. Sekeliling tempat itu sudah dilingkari kapur. Arnold berjongkok, dirabanya lantai bekas tubuh pak Argo. Lalu beralih melihat ke dinding, di mana kepala pria itu tadi bersandar. Arnold mendekat dan menemukan bercak merah di sana. Dinding itu rupanya bekas memasang rak besi, karena masih ada bekas-bekas lubang paku. Arnold meraba-raba sekitar tempat bercak merah berada. Jarinya berhenti ketika memegang bekas sebuah lubang.

Dada Arnold bergemuruh. Di bawah bekas lubang itu, di lantai, ia menemukan sebuah paku berkarat dengan ukuran besar. Arnold meraba lagi minyak yang membasahi beberapa ubin lantai. Beberapa botol dan dus minyak goreng bertumpuk di samping. Beberapa botol berserakan di lantai. Arnold menyusuri jejak minyak dan sampai pada sebuah dus yang terletak paling bawah dari tumpukan. Ia tercengang ketika mendapati sisi dus itu robek dan minyak mengalir dari sana.

Alarm langsung berbunyi di otak wartawan itu.

Dan pada saat bersamaan, polisi kembali ke ruangan. “Saudari Erna, Anda ditahan. Kami menemukan kembaran pisau yang disimpan di loker Anda. Yang satunya Anda gunakan untuk membunuh pak Argo.”

“Apa kubilang!” Toby berteriak.

“Tidak…!” Erna menjerit histeris. “Pisau itu memang punyaku, tapi…tapi dua-duanya ada di dalam loker!”

“Hanya satu,” polisi mengacungkan pisau itu, lalu mengambil pisau lain yang sudah terbungkus plastik. “Yang ini berlumuran darah, tergolek dekat tubuh pak Argo.”

Wajah Erna memucat. “Sungguh, bukan aku!” jeritnya lagi. “Seharian ini aku tidak memakainya!”

“Berarti biasanya Anda pakai?” Arnold menyela.

“Aku kadang memerlukannya untuk membuka dus-dus barang, karena aku bertugas di penyimpanan. Semua juga tahu pisau itu milikku, dan tidak ada masalah selama ini.”

“Sekarang jadi masalah,” polisi mengeluarkan borgol dan menangkap kedua tangan Erna. “Katakan saja selebihnya di kantor.”

“Dia bukan pelakunya, Pak polisi.”

Polisi itu menoleh. “Apa maksud Anda?” tukasnya sengit. “Sudah jelas itu pisau miliknya. Cek sidik jari akan lebih memberatkan.”

Arnold menjawab tenang. “Pak polisi, dengarkan aku dulu. Pak Argo memang ditusuk, tapi bukan karena itu dia tewas.”

“Aku tak mengerti.”

“Lihat ini,” Arnold menunjuk paku yang tergeletak di bawah dinding. “Ada noda darah yang sudah mengering, sama seperti di dinding ini. Dan bekas goresan seperti paku yang terseret dengan paksa.”

“Pak Argo membentur dinding setelah ditusuk, dan pasti kepalanya kena paku itu,” polisi masih tak mau kalah.

“Sebaliknya!” Arnold memotong dengan tegas. “Pak Argo lebih dulu terbentur dan tertusuk paku di kepala, baru kemudian ditusuk.”

Semua terperanjat. “Analisis apa itu?” polisi mulai marah.

“Anda bisa cek petugas otopsi,” Arnold bergeming. “Darah di kepala pak Argo, terlihat lebih kering dari darah di dadanya. Dan ini…” ia menunjuk ke arah tumpukan kardus. “Minyak di lantai ini bukan berasal dari botol, karena tak ada yang tutupnya terbuka. Tapi berasal dari dus yang bocor.”

Arnold berjongkok dan meraba dus yang paling bawah. “Ada bagian yang robek di sini. Ini dus minyak yang dikemas dalam sachet, bukan botol. Dus robek – mungkin karena tidak hati-hati waktu dibawa, lalu menyebabkan bungkus sachet juga sobek dan minyak mengalir ke luar.”

“Jadi, maksudnya…?”

“Waktu masuk kesini, pak Argo tidak tahu kalau lantai penuh minyak. Ia terpeleset, membentur dinding dan kepalanya tertusuk paku. Bobot tubuhnya yang sangat besar menyebabkan efek benturan yang hebat. Paku itu sampai copot dari tempatnya. Karena lukanya fatal, kemungkinan besar ia langsung sekarat.”

“Kau akan berkata ini kecelakaan?” tanya polisi lagi.

“Iya, kalau saja tak ada yang masuk dan memastikan ia tewas dengan menusuknya.” Arnold menghampiri salah seorang di hadapannya. “Kau pembunuhnya, Roy.”

“Apa?!” serempak mereka berseru.

“Pak, apa-apaan ini?” Roy menepiskan tangan Arnold.

“Berhenti bersandiwara dengan wajah lugu itu,” Arnold menatapnya tajam. “Jangan biasakan memfitnah teman. Kau menusuk pak Argo dengan pisau yang kauambil dari loker Erna, saat supervisor malang itu meregang nyawa. Mungkin semula kau tak berniat begitu. Tapi saat melihat pak Argo tergeletak, kau memanfaatkannya.”

“Aku tak tahu apa-apa! Apa buktinya? Sedari pagi aku bolak-balik dari lantai bawah kesini, tak melihat-lihat gudang!”

Arnold menendang sepatu pria itu. “Ini buktinya. Sepatumu, juga bagian bawah celana panjangmu, penuh minyak. Aku tahu dari jejak sepatumu. Ketika kau menapak, lantai bekas kau berpijak jadi bernoda, tidak seperti sepatu Erna atau pun Toby. Sepatumu berminyak karena menginjak lantai di sekitar tempat pak Argo terjatuh.”

Semua terpana, terlebih Roy. Pria itu ternganga, tubuhnya gemetar.

“Kenapa kau membunuh supervisormu dan memfitnah Erna, Roy?” Arnold menggenggam kerah baju Roy dan menariknya. Tatapan matanya menusuk. Roy menggeleng-geleng.

“Aku…aku…”

“Katakan, itu akan meringankan hukumanmu.”

Mendadak Roy menangis tersedu-sedu. “Aku…aku tak tahu kenapa bisa melakukan ini…”

“Jadi…kau yang mengambil pisauku…?”

“Aku benci padamu!” Roy memandang Erna dengan mata berkaca-kaca. “Aku menyukaimu, tapi kau tak peduli dan malah ikut-ikutan sok mengatur seperti Toby. Kalian berdua cari muka di depan pak Argo!”

“Kau melihat pak Argo datang. Kau masih biasa saja. Lalu kau melintas di depan gudang, dan pak Argo sudah terjatuh.”

“Aku kaget sekali. Tadinya aku mau melapor. Tapi tiba-tiba aku berpikir, ini kesempatan bagus untuk balas dendam pada pak Argo dan Erna sekaligus.”

“Kau lari ke bawah,” sambung Arnold. “Mengambil pisau dari loker Erna, kembali ke atas untuk menikam pak Argo. Setelah membuang pisau, kau kembali ke bawah. Itu kan yang kaumaksud dengan bolak-balik tadi?”

Roy tak bisa mengelak lagi. “Aku melihat Erna berjalan menuju gudang. Segera aku turun dan menunggu. Benar saja, ia berteriak.”

Erna memukul bahu Roy, amarahnya meluap. “Kau keterlaluan…!”

“Sudah,” Arnold melerai. “Toby, bawa dan tenangkan dia. Nah, pak polisi, borgolmu bisa kaupakaikan pada anak ini. Tanyakan juga di mana dia menyimpan sarung tangan yang ia pakai untuk memegang pisau. Dia mungkin tidak sepenuhnya lugu.”

“Sepertinya kau begitu yakin ini kecelakaan yang dimanfaatkan, hingga terlihat seperti pembunuhan.”

“Anda lebih paham, pak polisi. Tidak mungkin ada perkelahian. Postur pak Argo cukup menyulitkan bagi Erna, Toby ataupun Roy untuk meringkus dan menikamnya. Botol minyak yang jatuh, itu karena tersenggol pak Argo sendiri. Berat badan hampir satu kuintal begitu, siapa yang mau ambil resiko menyerangnya? Kecuali dia sudah tak berdaya duluan – dan itu yang terjadi.”

Roy segera digelandang pergi. Sang polisi memandang Arnold penuh selidik. “Omong-omong Anda ini wartawan mana? Kenapa ada di toko ini?”

“Aku tadi mampir untuk…astaga!” Arnold teringat dan bergegas turun. Ia menghampiri meja kasir dan melihat es krimnya sudah meleleh total.

Wartawan itu menggerutu. Ia terpaksa harus membeli es krim lagi.

                                                            **SELESAI**

BIODATA  PENULIS

Nama: Ismia
Nama pena: Mia Mutiara
Domisili: Kuningan, Jawa Barat          
Kontak:
FB Mia Mutiara
Twitter  @Mia_mutiara1
Email  mia.mutiara69@gmail.com

 

 

3 thoughts on “Minyak di Lantai

  1. Wow, cerpennya keren!!
    Cuma satu hal yang mengganjal, nggak ada yang dengar suara gedebuk begitukah ketika pak argo jatuh?

    Like

  2. Soal alur,sangat rapi dan konsisten. Namun banyak bukti yang disembunyikan (tidak disebutkan dari awal). Tiba-tiba saja: “Arnold menendang sepatu pria itu. “Ini buktinya. Sepatumu, juga bagian bawah celana panjangmu, penuh minyak. Aku tahu dari jejak sepatumu. Ketika kau menapak, lantai bekas kau berpijak jadi bernoda, tidak seperti sepatu Erna atau pun Toby. Sepatumu berminyak karena menginjak lantai di sekitar tempat pak Argo terjatuh.”

    Saya sempat membaca beberapa karya Doyle dan Christie, mereka sangat sportif mengungkapkan semua bukti sebelum ke pemecahan kasus, dan hebatnya kita tidak menyadarinya.

    Selebihnya, luar biasa!

    Like

Leave a comment