Review “Maigret Sets a Trap”

MaigretBagi mereka yang sudah pernah membaca kisah-kisah detektif Jules Maigret atau bahkan pernah menonton versi adaptasi sebelumnya tentunya akan sangat senang dengan kehadiran serial televisi terbarunya yang dibintangi oleh Rowan Atkinson tersebut. Setelah dirilis beberapa waktu lalu, kisah “Maigret Sets a Trap” yang diangkat dari novel berjudul serupa, para penggemar detektif asal Perancis rekaan George Simenon tersebut.

“Maigret Sets a Trap” diangkat dari novel pendek karya Georges Simenon dengan judul asli “Maigret tend un piège” dan dirilis pada 1955 silam. Novel ini berungkali diadaptasi oleh serial televisi. Yang terakhir adalah serial yang diperankan oleh Michael Gambon pada 1992 silam serta serial televisi Perancis dengan aktor Bruno Cremer yang dirilis antara 1995 sampai 2005. Kali ini, Rowan Atkinson mencoba memberikan warna baru dari kisah yang menjadi cerita Maigret terfavorit pilihan para pecinta genre fiksi detektif tersebut.

Plot

Eksposisinya dimulai dengan kehebohan pemberitaan mengenai pembunuhan berantai di kawasan Montmartre, sisi utara kota Paris, Perancis. Pembunuh berantai tersebut mengincar para wanita dari berbagai kalangan profesi. Tidak sampai disitu, pemberitaan media juga terkesan mengkritik kinerja kepolisian dibawah pimpinan Maigret yang dianggap lamban karena sudah jatuh korban keempat. Belum lagi desakan dari para petinggi kota yang menginginkan sang pelaku tertangkap.

Di tengah mencoba memahami kasus tersebut, kota kembali digemparkan dengan jatuhnya korban kelima, seorang ibu rumah tangga. Maigret pun mengunjungi keluarga korban untuk memberitahukan perihal targedi tersebut. Hatinya pun tersentuh melihat korban meninggalkan suami dan empat anak yang masih kecil.

Dengan jatuhnya korban kelima, Maigret pun kembali didesak. Walaupun sebenarnya ia sudah mempelajari sang pelaku. Ia menyadari bahwa ada kesamaan dari semua korban yang diincar sang pelaku. Semua wanita yang diincarnya adalah wanita usia menjelang 30 sampai akhir 40 dengan rambut berwarna gelap kecoklatan. Selain itu, Maigret juga menyadari bahwa seorang pembunuh berantai rata-rata memiliki “pride” yang tinggi. Hal itulah yang akhirnya dimanfaatkan Maigret untuk memancing sang pelaku dengan memanfaatkan pemberitaan media.

Rencananya memang tak mulus, apalagi ditentang oleh para petinggi kota. Bahkan Maigret sempat diusulkan untuk digantikan oleh Inspektur polisi lain dan mengambil poisisnya dalam menangani kasus ini. Namun berkat sobekan jas yang sempat tertinggal dari salah satu tempat kejadian, pelakunya pun berhasil dilacak.

Masalah belum sampai disitu, karena Maigret tidak mempunyai bukti yang cukup kuat untuk bisa membongkar alibi sang pelaku. Ditambah terjadi pembunuhan berikutnya di saat sang tersangka yang diduga pelaku sedang dalam pengamanan polisi. Semua semakin runyam. Namun hanya Maigret yang bisa membereskan semuanya dengan cara yang tenang dan sangat emosional.

Review

Saya sangat bersyukur bisa menyaksikan ‘Maigret Sets a Trap’ versi sebelumnya yang diperankan oleh Michael Gambon, sehingga saya bisa sedikit melihat perkembangan cerita dari versi terbaru ini. Pada dasarnya semuanya masih terlihat sama, namun lebih banyak dimensi dalam versi Rowan Atkinson. Saya sangat terbawa sekali dengan alur ceritanya di versi terbaru ini. Sehingga saya tidak perlu lagi membahas tentang alur dari cerita dengan ending yang cukup emosional tersebut. Karena yang akan paling banyak saya sorot adalah karakter utama dalam cerita ini.

Saya sangat setuju dengan review dari dailymail.co.uk yang mengatakan bahwa Maigret memiliki metode yang berbeda dengan beberapa detektif kenamaan di dunia fiksi. Bila yang biasa membaca kisah Sherlock Holmes mungkin sangat terbiasa dengan metode bagaimana ia menggunakan kejeniusannya dalam mengupas semua petunjuk yang tersisa, atau Hercule Poirot yang merunut semua detail persoalan sampai akar-akarnya. Hal itu sangat berbeda halnya dengan cara Jules Maigret yang terlatih secara emosional dengan metode mengupas apa yang ada di otak sang pelaku serta membuat jebakan emosi untuk mengeluarkan sisi manusia yang selama ini tidak ditunjukkan di tengah masyarakat.

Lihat saja bagaimana ia memanfaatkan sisi “pride’ dari seorang pembunuh. Seperti yang ia pelajari dari rekannya yang seorang psikiater, bahwa seorang pembunuh berseri biasanya memiliki kebangaan atas “hasil karyanya.” Nah, hal itulah yang dimanfaatkan oleh Maigret. Seperti yang ia katakan, bagaimana bila ada orang lain yang justru mendapat kredit atas pembunuhan tersebut dan bukannya sang pelaku sesungguhnya.

Maka rencana pertama pun dijalankan. Ia mengatur ada seorang yang berpura-pura digiring ke kantor polisi sambil melewati kerumunan wartawan. Hal itulah membuat media menulis berita bahwa pembunuh berseri tersebut telah ditangkap. Pemberitaan dari media itulah yang nantinya akan membuat pembunuh asli keluar dari persembunyian. Disinilah Maigret menyiapkan rencana kedua dengan menempatkan beberapa polisi wanita sebagai umpannya.

Hal lain yang kuat dari Maigret adalah kesabarannya, khususnya saat menginterogasi korban. Sepanjang saya menonton cerita polisi yang mengandung interogasi, baru kali ini saya menemui model interogasi macam Maigret. Tidak ada “good cop, bad cop’ dalam ceritanya. Yang dilakukan Maigret saat duduk  bersama tersangka saat melakukan interogasi adalah diam. Menutup rapat bibirnya sepanjang yang ia perlukan. Hal ini tentunya membuat gelisah orang yang dinterogasi. Di saat sang tersangka sudah mulai terlihat gelisah, Maigret pun baru mulai melontarkan pelurunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru bukan pertanyaan resmi seorang penyidik kepada orang yang diperiksanya. Pertanyaannya terlihat biasa namun menjurus ke sesuatu, seperti tentang hungan sang pelaku dengan keluarganya yang kemudian berubah menjadi sesuatu yang cukup menusuk bagi pelaku..

Melihat hal ini, saya menyimpulkan bahwa apa yang pernah saya dengar tentang kesabaran sang Maigret pun terbukti adanya. Lupakan sifat Sherlock Holmes yang moody dan suka show off akan deduksinya kepada sobatnya. Lupakan pula tingkah jenaka Hercule Poirot, metode keteraturannya dan keangkuhannya. Inspektur Jules Maigret adalah tipikal polisi yang sedikit bicara lebih banyak bertindak, diam-diam menghanyutkan, sabar, serta tidak menunjukkan emosi yang meluap-luap, tapi tetap memiliki jiwa kepimpinan sehingga disegani. Sifat yang menurut beberapa orang harusnya diikuti oleh polisi lainnya.

Meskipun begitu ada beberapa hal yang cukup menganggu saya sebagai penikmat film televisi ini. Ada beberapa catatan untuk karakter Maigret versi Rowan Atkinson ini.

Saya tidak mengerti apa keputusan sutradara untuk mengcasting orang seperti Rowan Atkinson untuk memerankan tokoh ini. Agak sedikit beresiko meberikan tokoh yang sudah sangat lekat sebagai tokoh komikal seperti Mr. Bean dan Johnny English seperti dirinya. Meskipun ia aktor yang cukup mumpuni untuk karakter ini (saya tidak meragukan aktingya, ia aktor yang jempolan), tapi entah kenapa aura dirinya sebagai Mr. bean masih terlihat jelas. Apalagi di adegan-adegan yang memperlihatkan dia sedang memikirkan sesuatu. Tampang konyolnya di Mr.Bean masih ada dan tidak hilang meski dengan tambahan pipa yang selalu dihisapnya. Seandainya  para make up artist mau sedikit memolesnya dan memberikan tambahan berat badan kepadanya, mungkin bayang-banyang kedua tokoh komedi tidak terlihat.

Yang kedua adalah terlalu datar peran yang ia mainkan. Ia benar-benar mengambarkan seorang tokoh tanpa ekspresi dan emosi. Bahkan saya tidak melihat ada senyum atau tawa darinya sedangkan saat itu ia sedang bersama para polisi bawahannya yang tertawa karena adegan penangkapan dan interogasi palsu yang dijalankan untuk mengelabui wartawan. Semua bawahannya tertawa dan tersenyum, termasuk saya yang nonton juga tersenyum. Hanya Maigret yang tidak. Mungkin versi Gambon masih terlihat lebih natural.

Seandainya benar-benar dikupas lebih dalam lagi bagian antara hubungan antara pelaku dengan keluarganya sendiri mungkin akan lebih menarik. Karena saya lihat masih banyak yang bisa digali. Tapi entah apa saya cocok untuk komentari hal ini, karena pada dasarnya saya bukan pakar. Saya hanya menilai berdasarkan kacamata penikmat.

Terlepas dari itu semua, saya menikmati semuanya. Saya kagum dengan setting kota Hungaria yang disulap menjadi kawasan Montmatre, Paris era 50-an yang lengkap dengan gang-gang gelap kecil. Saya juga tertarik dengan dua dari “The Faithful-Four”, anak buah Maigret yang sering disebutkan dalam novelnya seperti Inspector Janvier dan Inspector Lapointe terlihat disini dan sambil bahu membahu menyelidiki kasus ini. Penampilan David Dawson sebagai sang pelaku juga sangat mengesankan, meskipun terlihat seperti orang kekurangan gizi dibanding seperti pembunuh bayaran. Saya harap bisa menyaksikkan serial berikutnya “Maigret’s Dead Man” yang rencananya akan dirilis akhir 2016 mendatang. Saya beri rating 4 dari 5 bintang untung kisah ini.

3 thoughts on “Review “Maigret Sets a Trap”

  1. Satu hal yang membuat saya kagum pada film ini, yaitu “trap-nya”. Tapi bukan ketika Maigret memasang polisi-polisi wanita, namun ketika Maigret mewawancarai si pelaku. Maigret merahasiakan kejadian, ia terus melontarkan pertanyaan yang tidak penting, lalu di akhir, ia menyuruh pelaku ke kantor polisi. Tiba-tiba si pelaku bertanya: “Apa yang terjadi?” Maigret menjawab: “Kenapa kau tidak menanyakan itu dari awal?” -its trap!- 😉

    Like

Leave a comment